Cerdas Menurut Islam dan Para Ahli




Kecerdasan atau yang biasa disebut dengan inteligensi berasal dari bahasa Latin “intelligence” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together).
- Uswah Wardiana, Psikologi Umum, (Jakarta: Pt. Bina Ilmu, 2004), Hlm.159

Bagi para ahli yang meneliti, istilah inteligensi memberikan bermacam-macam arti. Menurut mereka, kecerdasan merupakan sebuah konsep yang bisa diamati tetapi menjadi hal yang paling sulit untuk didefinisikan. Hal ini terjadi karena inteligensi tergantung pada konteks atau lingkungannya.

Arti kata "cerdas" sendiri dalam KBBI adalah
  1. Sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya); tajam pikiran.
  2. Sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat, kuat): -- cermat pertandingan adu ketajaman berpikir dan ketangkasan menjawab (pertanyaan, soal matematika, dan sebagainya) secara cepat dan tepat;
Menurut Dusek kecerdasan dapat didefinisikan melalui dua jalan yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecerdasan adalah proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes inteligensi, sedangkan secara kualitatif kecerdasan merupakan suatu cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang disesuaikan dengan dirinya.

Howard Gardner berpendapat kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.
- Akyas A. Hari, Psikologi Umum Dan Perkembangan, ( Jakarta Selatan: Mizan Publika, 2004), Hlm. 141

Sedangkan Alfred Binet seorang tokoh perintis pengukuran inteligensi, menjelaskan bahwa inteligensi merupakan kemampuan individu mencangkup tiga hal.
Pertama, kemampuan mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, artinya individu mampu menetapkan tujuan untuk dicapainya (goal setting).
Kedua, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian, artinya individu mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan tertentu.
Ketiga, kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto kritik, artinya individu mampu melakukan perubahan atas kesalahan-kesalahan.
- T. Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak, (Yogyakarta: Amara Books, 2005), Hlm. 19

Dari berbagai pengertian dan penjelasan dari para ahli di atas, tentu Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada umat Islam, seperti apa kriteria orang cerdas?. Pada hadis Nabi yang dikisahkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.”
“Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
(HR. Ibnu Majah no. 4259).

Kemudian Rasulullah SAW juga bersabda:
"Orang yang cerdas adalah yang menekan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, sedangkan orang dungu adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan mengangankan kepada Allah berbagai angan-angan."(Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, nomor 2459)

Dengan demikian, orang cerdas menurut Islam ia akan terus berada di jalan-Nya. Mereka bersungguh-sungguh melakukan "kebaikan" dan "ketakwaan". Sekali saja ia melanggar aturan Allah, ia akan teringat kembali akan bayang-bayang kematian yang siap menjemputnya. Sebab itulah ia tidak terlalu sering berada dalam puncak kenikmatan, sebab yang sering diingatnya adalah kematian.

Hal tersebut senada dengan hadis Nabi yang berbunyi:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِى الْمَوْتَ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian”(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa'i. Dan dinyatakan SHOHIH oleh Ibnu Hibban).

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengingat muaut, sebagai motivasi untuk selalu produktif dalam berkarya dalam "kebaikan" dan "ketakwaan" untuk bekal di akhirat nanti. Aamiin...

Wa Allahu a'lam bisshoab






Jika berkenan, silahkan beri ulasan di kolom komentar. Terima Kasih.
Jika Sobat ingin membagikannya ke teman-teman, Silahkan KLIK TOMBOL BERBAGI DI BAWAH INI!

DAFTAR ISI

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Telegram
Share on Whatsapp
Tags :

0 comments:

Posting Komentar