Seperti telah dikemukakan sebelumnya, moderasi adalah ibarat bandul jam yang bergerak dari pinggir dan selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), ia tidak pernah diam statis. Sikap moderat pada dasarnya merupakan keadaan yang dinamis, selalu bergerak, karena moderasi pada dasarnya merupakan proses pergumulan terus-menerus yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Moderasi dan sikap moderat dalam beragama selalu berkontestasi dengan nilai-nilai yang ada di kanan dan kirinya. Karena itu, mengukur moderasi beragama harus bisa menggambarkan bagaimana kontestasi dan pergumulan nilai itu terjadi.
Analogi bandul jam ini bisa lebih dijelaskan sebagai berikut: sikap keberagamaan seseorang sangat dipengaruhi oleh dua hal, yakni: akal dan wahyu. Keberpihakan yang kebablasan pada akal bisa dianggap sebagai ekstrem kiri, yang tidak jarang mengakibatkan lahirnya sikap mengabaikan teks. Sebaliknya, pemahaman literal terhadap teks agama juga bisa mengakibatkan sikap konservatif, jika ia secara ekstrem hanya menerima kebenaran mutlak sebuah tafsir agama.
Seorang yang moderat akan berusaha mengkompromikan kedua sisi tersebut. Ia bisa bergerak ke kiri memanfaatkan akalnya, tapi tidak diam ekstrem di tempatnya. Ia berayun ke kanan untuk berpedoman pada teks, dengan tetap memahami konteksnya.
Lalu apa indikator moderasi beragama itu?
Kita bisa merumuskan sebanyak mungkin ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong moderat atau sebaliknya, ekstrem. Namun, untuk kepentingan buku ini, indikator moderasi beragama yang akan digunakan adalah empat hal, yaitu:
- komitmen kebangsaan;
- toleransi;
- anti-kekerasan; dan
- akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Komitmen kebangsaan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.
Komitmen kebangsaan ini penting untuk dijadikan sebagai indikator moderasi beragama karena, seperti sering disampaikan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, dalam perspektif moderasi beragama, mengamalkan ajaran agama adalah sama dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara, sebagaimana menunaikan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud pengamalan ajaran agama.
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan. Toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif.
Sebagai sebuah sikap dalam menghadapi perbedaan, toleransi menjadi fondasi terpenting dalam demokrasi, sebab demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Oleh karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa, antara lain, bisa diukur dengan sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, maka bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya. Aspek toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, namun bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, budaya, dan sebagainya.
Dalam konteks buku ini, toleransi beragama yang menjadi tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intra agama, baik terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Hal ini bukan berarti toleransi di luar persoalan agama tidak penting, tetapi buku ini hanya fokus pada moderasi beragama, di mana toleransi beragama menjadi intinya. Melalui relasi antaragama, kita dapat melihat sikap pada pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerja sama, pendirian tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Sedangkan toleransi intraagama dapat digunakan untuk menyikapi sekte-sekte minoritas yang dianggap menyimpang dari arus besar agama tersebut.
Sedangkan radikalisme, atau kekerasan, dalam konteks moderasi beragama ini dipahami sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem atas nama agama, baik kekerasan verbal, fisik dan pikiran. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme, karena kelompok radikal dapat melakukan cara apa pun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan agama tertentu, namun pada dasarnya radikalisme tidak hanya terkait dengan agama tertentu, tetapi bisa melekat pada semua agama.
Radikalisme bisa muncul karena persepsi ketidakadilan dan keterancaman yang dialami seseorang atau sekelompok orang. Persepsi ketidakadilan dan perasaan terancam memang tidak serta merta melahirkan radikalisme. Ia akan lahir jika dikelola secara ideologis dengan memunculkan kebencian terhadap kelompok yang dianggap sebagai pembuat ketidakadilan dan pihak-pihak yang mengancam identitasnya.
Ketidakadilan mempunyai dimensi yang luas, seperti ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan sebagainya. Ketidakadilan dan perasaan terancam bisa muncul bersama-sama, namun juga bisa terpisah. Persepsi ketidakadilan dan perasaan terancam tersebut bisa memunculkan dukungan pada radikalisme, bahkan terorisme, meskipun belum tentu orang tersebut bersedia melakukan tindakan radikal dan teror.
Sedangkan praktik dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kesediaan untuk menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Orang-orang yang moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama. Tradisi keberagamaan yang tidak kaku, antara lain, ditandai dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku beragama yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran normatif, melainkan juga menerima praktik beragama yang didasarkan pada keutamaan, tentu, sekali lagi, sejauh praktik itu tidak bertentangan dengan hal yang prinsipil dalam ajaran agama. Sebaliknya, ada juga kelompok yang cenderung tidak akomodatif terhadap tradisi dan kebudayaan, karena mempraktikkan tradisi dan budaya dalam beragama akan dianggap sebagai tindakan yang mengotori kemurnian agama.
Meski demikian, praktik keberagamaan ini tidak bisa secara serta merta menggambarkan moderasi pelakunya. Hal ini hanya bisa digunakan untuk sekadar melihat kecenderungan umum. Pandangan bahwa seseorang yang semakin akomodatif terhadap tradisi lokal, akan semakin moderat dalam beragama memang masih harus dibuktikan. Bisa jadi, tidak ada korelasi positif antara sikap moderat dalam beragama dengan akomodasi terhadap tradisi lokal dalam beragama.
0 comments:
Posting Komentar