Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.
Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran.
Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan. Kecenderungan untuk bersikap seimbang bukan berarti tidak punya pendapat. Mereka yang punya sikap seimbang berarti tegas, tetapi tidak keras karena selalu berpihak kepada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu tidak sampai merampas hak orang lain sehingga merugikan. Keseimbangan dapat dianggap sebagai satu bentuk cara pandang untuk mengerjakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak konservatif dan juga tidak liberal.
Mohammad Hashim Kamali (2015) menjelaskan bahwa prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam konsep moderasi (wasathiyah) berarti bahwa dalam beragama, seseorang tidak boleh ekstrem pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Bagi Kamali, wasathiyah merupakan aspek penting dalam Islam yang acapkali dilupakan oleh umatnya, padahal, wasathiyah merupakan esensi ajaran Islam.
Moderasi bukan hanya diajarkan oleh Islam, tapi juga agama lain. Lebih jauh, moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat hingga hubungan antarmanusia yang lebih luas.
Kedua nilai ini, adil dan berimbang, akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama dalam dirinya: kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage). Dengan kata lain, sikap moderat dalam beragama, selalu memilih jalan tengah, akan lebih mudah diwujudkan apabila seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama yang memadai sehingga dapat bersikap bijak, tahan godaan sehingga bisa bersikap tulus tanpa beban, serta tidak egois dengan tafsir kebenarannya sendiri sehingga berani mengakui tafsir kebenaran orang lain, dan berani menyampaikan pandangannya yang berdasar ilmu.
Dalam rumusan lain, dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat terpenuhinya sikap moderat dalam beragama, yakni: memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhatihati. Jika disederhanakan, rumusan tiga syarat moderasi beragama ini bisa diungkapkan dalam tiga kata, yakni harus: berilmu, berbudi, dan berhati-hati.
Jika dielaborasi lebih lanjut, maka kita dapat mengidentifikasi beberapa sifat lain yang harus dimiliki sebagai prasyarat moderasi beragama, seperti: keharusan memiliki pengetahuan yang komprehensif terkait ritual ibadah. Pengetahuan komprehensif atas hukum melaksanakan ibadah dalam sebuah agama tentunya akan memudahkan umatnya untuk memilih alternatif andai ia membutuhkannya, meski tentu dengan prinsip bukan untuk menganggap enteng atau ‘memudah-mudahkan’ sebuah praktik ritual keagamaan. Cara ini semata untuk mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama, sejauh dimungkinkan pelaksanaannya. Kondisi ini memang cukup berat dimiliki karena asumsinya sang umat itu harus benar-benar memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif dan kontekstual.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu pernah marak penolakan imunisasi vaksin Measles Rubella (MR) dari kelompok beragama karena adanya kegamangan terkait hukumnya, padahal vaksin tersebut sangat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran penyakit campak dan rubela. Selain itu diperkuat dengan fatwa MUI No. 33 Tahun 2018 yang menyatakan kebolehannya atau mubah dan didasarkan atas kondisi darurat syar'iyah, keterangan ahli yang kompeten, dan belum ditemukan adanya vaksin MR yang halal dan suci hingga saat ini. Untuk dapat memoderasi kepentingan kesehatan dengan pertimbangan keagamaan ini tentu membutuhkan pengetahuan komprehensif yang berasal dari beragam pendapat tokoh agama.
Melalui bekal pengetahuan keagamaan yang memenuhi kriteria di atas, maka seorang pemeluk agama akan dengan mudah memiliki sifat terbuka khususnya dalam menyikapi keragaman dan perbedaan. Dan, inilah sesungguhnya salah satu hakikat dari moderasi beragama. Bagi masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia, cara pandang moderasi beragama menjadi sangat penting agar masingmasing dapat mendialogkan keragaman, baik ragam agama, kepercayaan, filsafat hidup, ilmu pengetahuan, hingga ragam tradisi dan adat istiadat lokal.
Moderasi beragama meniscayakan umat beragama untuk tidak mengurung diri, tidak eksklusif (tertutup), melainkan inklusif (terbuka), melebur, beradaptasi, bergaul dengan berbagai komunitas, serta selalu belajar di samping memberi pelajaran. Dengan demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan dalam menyikapi keragaman, termasuk keragaman agama dan tafsir agama, melainkan selalu bersikap adil dan berimbang sehingga dapat hidup dalam sebuah kesepakatan bersama.
Dalam konteks bernegara, prinsip moderasi ini pula yang pada masa awal kemerdekaan dapat mempersatukan tokoh kemerdekaan yang memiliki ragam isi kepala, ragam kepentingan politik, serta ragam agama dan kepercayaan. Semuanya bergerak ke tengah mencari titik temu untuk bersama-sama menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama. Kerelaan dalam menerima NKRI sebagai bentuk final dalam bernegara dapat dikategorikan sebagai sikap toleran untuk menerima konsep negara-bangsa.
Sarjana Muslim, Ismail Raji al-Faruqi (w. 1986), mengelaborasi makna berimbang (tawazun) atau “the golden mean” sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari dua kutub ekstrem yang tidak menguntungkan, seraya berusaha mencari titik temu menggabungkannya. Sikap berimbang berarti menghindarkan diri dari mementingkan diri sendiri secara absolut di satu sisi, dan mementingkan orang lain secara absolut di sisi lain; mengejar kebahagiaan pribadi di satu sisi, dan menjaga kebahagiaan bersama di sisi lain. Demikian seterusnya, selalu mengambil jalan tengah yang berimbang (Kamali 2015: 31).
Dalam era disrupsi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, saat di mana setiap individu mengalami banjir informasi, prinsip adil dan berimbang dalam moderasi beragama sejatinya juga dapat dijadikan sebagai nilai (value) yang bermanfaat untuk mengelola informasi serta meminimalisir berita bohong (hoax); moderasi beragama memberi pelajaran untuk berfikir dan bertindak bijaksana, tidak fanatik atau terobsesi buta oleh satu pandangan keagamaan seseorang atau kelompok saja, tanpa mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau kelompok lainnya.
Jika berkenan, silahkan beri ulasan di kolom komentar. Terima Kasih.
Jika Sobat ingin membagikannya ke teman-teman, Silahkan KLIK TOMBOL BERBAGI DI BAWAH INI!
0 comments:
Posting Komentar