Kalau begitu apa ekstremitas itu? Apa ada ciri-ciriya? Dan sekaligus juga apabila ciri ini tidak didapati pada seseorang, maka dia bisa dikatakan sebagai pemeluk agama yang moderat. Terkait dengan masalah ini, Yusuf al-Qardhawi menjelaskan paling tidak ada sekitar empat ciri sikap ekstremisme yaitu;1
1). Mempersukar Diri Dalam Melakukan Kewajiban
Tanda-tanda lain dari sikap ekstremisme keagamaan adalah selalu memilih sesuatu yang sukar pada hal-hal yang sebenarnya terdapat kemudahan dan mewajibkan kepada orang lain untuk mengerjakan yang sulit itu, padahal Allah tidak mewajibkannya.Memang tak ada larangan bagi seseorang berpegangan pada yang lebih sukar atau lebih berat dalam beberapa masalah untuk diri sendiri, sebagai bentuk kehatia-hatian. Namun, tidaklah baik orang terus menerus dalam keadaan demikian sehingga di saat memerlukan kemudahan enggan melakukannya. Dan walaupun telah diberi kelonggaran ia tetap menolaknya. Padahal Rasullah saw. bersabda; “Mudahkanlah olehmu dan jangan mempersulit. Gembirakanlah mereka jangan menyusahkannya’. Dalam hadis lain disebutkan; “sesungguhnya Allah swt. menyukai orang yang memanfaatkan kemudahan-Nya sebagaimana Ia tidak menyukai orang berbuat maksiat kepada-Nya.” Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah/2: 185 :
Artinya: “Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagimu dantidak menghendaki kesukaran” (QS. Al-Baqarah/2: 185) Dalam sebuah hadis sahih disebutkan “Rasulullah apabila dihadapkan dengan dua perkara, beliau selalu memilih yang lebih mudah diantara keduanya, selama tidak mendatangkan dosa”. 2
Ibn Mas’ud Al-Anshari berkata; “Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah saw. ‘Ya Rasulullah, aku terpaksa tidak salat subuh berjamaah, karena si fulan biasa memanjangkan bacaan salat. Mendengar pernyataan laki-laki itu Rasulullah saw. sangat marah. Demikian kata Ibn Mas’ud. Kemudian beliau bersabda; “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya di antara kamu terdapat orang-orang yang memberatkan. Barang siapa menjadi iman dalam salat bersama orang banyak, maka ringankanlah bacaannya, karena dibelakangnya terdapat orang yang lemah, lanjut usia, dan orang-orang yang mempunyai kepentingan.” Ketika Mu’az memanjangkan salatnya bersama suatu kaum, Rasulullah saw. berkata kepadanya; “Hai Mu’az, apakah engkau hendak menimbulkan fitnah?”
dan beliau mengulangi perkataan ini sampai tiga kali. Dan dari Anas, ia berkata; bahwasannya Nabi saw. bersabda; “Adakalanya aku hendak memanjangkan salatku, lalu kudengar tangis seorang anak sehingga kuringankan (memendekan) salatku karena aku mengetahui kegelisahan ibunya terhadap tangis anak itu”.3
Termasuk di antara perbuatan yang memberatkan adalah memaksakan orang lain mengerjakan hal-hal yang sunnah, dengan mengangapnya seolah-olah wajib, dan menganggap yang makruh seolah-olah haram. Padahal, yang diharuskan ialah agar kita tidak mewajibkan sesuatu, kecuali yang telah diwajibkan oleh Allah swt. Adapun yag selebihnya, orang boleh memilihnya.
2). Bersikap Kasar dan Keras
Di antara tanda lain dari sikap ekstrem adalah bersikap kasar, keras, dan tidak berperangai halus dalam berkomunikasi dan berdakwah. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar berdakwah dengan hikmah dan bukan dengan kejahilan, dengan pengajaran yang baik, bukan dengan ungkapan-ungkapan kasar; serta berdebat dengan menggunakan cara yang paling baik. Sesuai dengan firman Allah;Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, bahkan debatlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu legih mengethui orang yang sesat dari jalan-Nya dan lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Nahl /16: 125)
Rasulullah pun menunjukan sikapnya dengan para sahabatnya seperti firman Allah SWT berikut ini;
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma›afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang - orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Al- Imran/3: 159)
Dengan demikian, tidak semestinya dalam berdakwah berlaku keras dan kasar. Dalam hadis shahih dari Aisyah ra. disebutkan; “Sesungguhnya Allah menyukai kelemah lembutan dalam segala perkara”.4
Dalam Hadis sahih lain juga dari Aisyah ra. disebutkan”, “Setiap kali sikap lemah dilakukan dalam suatu perkara, niscaya akan menjadikan baiknya perkara itu. Setiap kali sikap kasar itu dilakukan dalam suatu perkara, niscaya akan menjadikan buruknya perkara itu” (QS. Al- Imran/3: 159)
Hal itu semua mengindikasikan bahwa perilaku keras tidak pernah menghasilkan sesuatu kecuali keburukan
3). Mudah Mengkafirkan
Sikap ekstrem yang tertinggi barangkali adalah sikap mudah mengkafirkan. Sikap ini sangat dilarang, karena orang yang sudah dikafirkan akan berimplikasi pada pengguguran hak kehormatan orang lain, dan menghalalkan jiwa dan harta mereka, serta tidak lagi melihat hak mereka untuk tidak diganggu dan hak diperlakukan secara adil. Hal ini akan terjadi ketika orang telah dikuasai kekacauan pikiran lalu menuduh kebanyakan orang telah keluar dari Islam. Sikap inilah yang dilakukan kelompok Khawarij pada masa permulaan Islam. Mereka ini termasuk sangat ketat dalam melaksanakan bermacam-macam ritus peribadatan seperti puasa, salat, dan baca al-Qur’an. Tetapi mereka sebenaranya telah terjerumus dalam kebinasaan disebabkan keburukan pikiran, bukan disebabkan keburukan hati.Hubungan Kelompok Khawarij dengan alQur’an dilukiskan Rasul dengan sabdanya; “Mereka membaca al-Qur’an, tetapi bacannya tidak melampaui kerongkongan”. Di samping itu Rasul juga bersabda tentang ciri lain dari kelompok ini; “Mereka membunuh pemeluk agama Islam dan membiarkan penyembah berhala.”
4). Fanatik Mazhab dan tidak mau mengakui pendapat lain
Fanatik mazhab di antara sikap ekstrem yang sangat menonjol. Sikap bersikeras atas suatu paham secara berlebihan dan tidak wajar, tidak mau melihat pendapat orang lain. Tidak memberikan peluang untuk berdiskusi adalah sikap yang amat dibenci dalam Islam. Karena para ulama sepakat bahwa setiap orang siapa saja, boleh diambil atau ditinggalkan pendapatnya, kecuali pendapat Nabi saw.Memilik pendapat, meyakininya dan menyebarkannya tidak dilarang dalam Islam. Yang dilarang adalah menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai bibit perpecahan atau untuk mengklaim bahwa pendapatnya satu-satunya kebenaran sementara yang lain salah.
Dalam menyikapi perbedaan, Yusuf al-Qardhawi Ulama asal Mesir ini mengatakan; “Kita harus sepakat pada yang qath’î dan siap berbeda pada yang zhannî. Harus sepakat pada yang qath’î artinya kita mesti melakukan fiqih prioritas dalam melakukan sesuatu, harus lebih mengutamakan yang lebih utama dari pada yang utama, mengutamakan yang lebih penting dari pada yang penting, lebih mengutamakan yang wajib dari pada yang sunah dan lebih mengutamakan yang prisnip dari pada masalah furu’iyah. Dengan demikian, tidak boleh bertengkar karena masalah yang tidak prinsip seperti masalah memanjangkan jenggot atau mencukurnya, masalah model berpakaian, cadar dan lain-lain dari permasalahan furu’iyah. Maksud siap berbeda pada yang zhannî; tidak boleh fanatik dengan mazhab atau pendapat tertentu dalam masalah-masalah ijtihadî. Harus toleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah yang bersifat zhannî.5
Karenanya, ulama membuat suatu rumusan agar tidak terjebak pada sikap fanatisme terhadap satu pendapat. Sebaiknya harus dilihat dulu teks-nya, apakah teks termasuk dalam katagori nash yang qath’î atau zannî? Di dalam Islam dikenal istilah ajaran absolut yaitu nash al-Quran atau hadis Nabi yang mengandung satu makna yang dalam istilah ushul fiqih disebut qath’î al-dalâlah dan ada juga ajaran relatif yang mempunyai lebih dari satu makna yang dalam istilah ushul fikih dzannî al-dalâlah.6
Tegasnya, bahwa dalam hukum fikih itu ada dua katagori.
Pertama qath’î al-dalâlah dan kedua zannî al-dalâlah.
Bagian pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah dan muamalah yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Bagian kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok - pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan.7 Seorang tidak dikatakan muslim lagi bila berbeda pada fikih yang pertama. Sementara pada pada fikih yang kedua boleh berbeda pendapat.
Fikih yang pertama adalah berkaitan dengan akidah, seperti percaya kepada Allah yang Maha Esa, Muhammad Rasulullah dan hari kebangkitan. Tentang salat, tidak ada perbedaan antara semua mazhab dalam hal bilangan rekaat, jumlah sujud, jumlah salat wajib, dan bagianbagian salat yang penting lainya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat salat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath’î dan bagian kedua berdasarkan dali-dalil zhannî.
Pada bagian kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang hukum Islam. Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang zhannî, kita harus menguji perbedaan itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli yang kemudian mengambil pendapat yang paling kuat atau yang disebut dengan istilah tarjîh. Dengan ukuran naqli, artinya mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadis dan ilmuilmu al-Qur’an. Ukuran aqli diartikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi, dan hanya boleh dilakukan setelah iKita bisa memilih pendapat yang paling kuat atau yang disebut dengan tarjîh. Tetapi betapa pun kuatnya, pendapat itu tetap zhannî.
Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan dan persatuan umat atau tidak mendatangkan mudarat, karena kita berpegangan pada prinsip mendahulukan yang wajib dengan tetap menjaga hubungan silaturahmi dan kesatuan umat. Karena alasan ini, sekalipun menurut Ibnu Mas’ud ra. dan Ibn Umar ra. salat zuhur dan asar di Mina harus di – qashar. Namun ketika Utsman bin Affan ra. salat empat rekaat, Ibn Mas’ud salat juga empat rekaat. Ketika ditegur ia menjawab, “Semua perselisihan itu jelek” (al-Ikhtilâf syar kuluh). Ibn Umar juga ikut salat empat rekaat, tetapi mengulangi salatnya dirumah sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyâthî).8
Imam Syafi’i tidak membaca qunut pada salat subuh, ketika ditanya apakah Anda lupa membaca qunut, ia menjawab aku tidak lupa membaca qunut, tetapi karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ (sebagaimana diketahui Abu Hanifah tidak mensunahkan qunut). Imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i pernah salat dibelakang para imam di Madinah yang tidak membaca basmalah, baik sir (perlahan) maupun jahr (keras), padahal kedua imam ini mengharuskan pembacaan basmalah pada al-Fatihah.
Imam Ahmad berpendapat, wajib wudhu bagi orang yang berbekam dan mengeluarkan darah. Ia pernah ditanya: Jika imam mengeluarkan darah, kemudian tidak berwudhu, apakah anda akan salat dibelakang dia? Imam Ahmad menjawab: Bagaimana aku tidak salat di belakang imam Malik dan Sa’id bin Musayyab? (kedua imam ini berpendapat tidak wajib wudhu bagi orang yang mengeluarkan darah). Tradisi ini selalu dilakukan para ulama terdahulu karena memikirkan kemaslahatan umat dan tidak merasa benar sendiri dengan pendapatnya. Jadi yang dipentingkan agar tidak fanatik mazhab atau fanatik terhadap satu pendapat, prinsip silaturahmi atau ukhuwwah harus lebih dikedepankan agar terhindar dari sikap radikalisme dan ekstremisme.
Disadur dari Jurnal Bimas Islam Vol 13 No. 1 Kemenag.go.id
REFERENSI
1 Al-Qardhawi, Al-Shahwah Al-Islamiyah Baina al-Jumud, 30-402 HR. Bukhari-Muslim dari Aisyah ra. sebagaimana dikutip al-Qardhawi dalam bukunya Al-Shahwah Al-Islamiyah Baina al-Jumud, 37-38.
3 HR. Bukhari seperti dikutip al-Qardhawi dalam bukunya Al-Shahwah AlIslamiyah Baina al-Jumud, 37.
4 HR. Bukhari – Muslim seperti dikutip al-Qardhawi dalam bukunya AlShahwah Al-Islamiyah Baina al-Jumud, 40.
5 Yusuf al-Qardhawi, Al-Shahwah Al-Islâmiyah Baina Al-Ikhtilâf Al-Masyrû’ wa Al-Tafarruq Al-Madzmûm (Kairo: Dâr Al-Shahwah. 1994), 145-173.
6 Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz, fî Ushûl al-Fiqh (Baerut: Dâr Al-Fikr Al-Mu’âshir, 1995), 32-33.
7 Yusuf al-Qardhawi, Fî Fiqh Al-Aulawiyyât; Dirâsah Jadîdah Fî Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 76-80.
8 Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fikih (Bandung: Muthahari Press, 2003), 44-45.
0 comments:
Posting Komentar